Menghadapi Toxic Positivity: Kenapa Selalu Positif Tidak Selalu Baik?
Apa Itu Toxic Positivity?
Toxic positivity itu adalah ketika kita merasa terpaksa harus selalu berpikir positif dan menunjukkan kebahagiaan, bahkan ketika kita sedang merasa sedih, marah, atau cemas. Misalnya, kamu baru saja gagal dalam ujian, tapi bukannya merasakan kekecewaan, kamu malah dipaksa untuk berpikir “Ah, nggak apa-apa, nanti ada kesempatan lain.” Padahal, sebenarnya kamu merasa down banget dan butuh waktu untuk menerima kenyataan.
Toxic positivity berbeda dengan optimisme sehat yang memang bisa memberikan semangat. Optimisme sehat itu lebih kepada mencoba untuk melihat sisi baik setelah menghadapi kesulitan, sedangkan toxic positivity malah menekan perasaan negatif kita dan nggak memberi ruang untuk merasakannya.
Tanda-Tanda Toxic Positivity dalam Kehidupan Sehari-Hari
Pernah nggak kamu merasa harus “memaksa” diri untuk tetap bahagia atau positif, padahal dalam hati kamu merasa nggak enak? Beberapa tanda toxic positivity bisa terlihat dalam kehidupan sehari-hari kita, misalnya:
- Menahan perasaan negatif: Misalnya, kamu merasa cemas atau sedih, tapi merasa harus terus menunjukkan senyuman. Padahal, perasaan seperti itu juga normal kok!
- Merasa cemas atau bersalah: Kamu mulai merasa nggak enak kalau nggak terlihat positif. Misalnya, kamu nggak mau curhat ke teman tentang masalah yang kamu hadapi karena takut mereka menganggap kamu “negatif” atau “tidak kuat.”
- Menghindari perasaan negatif: Setiap kali kamu merasa down, bukannya berusaha menghadapinya, kamu malah berusaha mengabaikan atau menutupinya dengan berkata “Semua akan baik-baik saja.”
Padahal, nggak ada yang salah dengan merasa sedih atau kecewa. Itu adalah bagian dari proses untuk tetap sehat secara emosional.
Dampak Negatif Toxic Positivity
Meskipun sering dikatakan bahwa kita harus selalu positif, toxic positivity justru bisa memberi dampak buruk bagi kita. Beberapa dampaknya adalah:
- Menekan perasaan asli: Kalau kita terus-menerus memaksa diri untuk berpikir positif, kita jadi nggak memberi ruang untuk perasaan asli kita. Misalnya, kamu merasa kecewa setelah gagal ujian, tapi karena dipaksa untuk berpikir “Nggak apa-apa, masih ada kesempatan lain,” kamu jadi nggak benar-benar merasakan perasaan kecewa tersebut.
- Meningkatkan stres: Karena kamu nggak bisa mengekspresikan perasaan negatif, itu bisa menumpuk di dalam diri dan akhirnya meningkatkan stres. Kamu nggak bisa benar-benar melepaskan apa yang kamu rasakan, dan itu bikin kepala jadi penuh dan tekanan emosional meningkat.
- Merusak hubungan sosial: Ketika kita merasa harus selalu terlihat bahagia, kita jadi nggak terbuka dengan orang lain tentang apa yang sebenarnya kita rasakan. Padahal, berbicara dengan teman atau keluarga tentang masalah yang kita hadapi bisa sangat membantu kita merasa lebih baik.
- Menghambat pemulihan emosional: Kalau kita nggak memberi ruang untuk perasaan negatif, kita malah nggak bisa memprosesnya dengan sehat. Pemulihan emosional itu penting, dan kalau terus-menerus menekan perasaan, kita malah bisa terjebak dalam perasaan yang nggak terselesaikan.
Mengapa Kita Terjebak dalam Toxic Positivity?
Sekarang kamu pasti bertanya-tanya, kenapa sih kita bisa terjebak dalam pola pikir toxic positivity? Beberapa faktor yang bisa mempengaruhi adalah:
- Tekanan sosial: Kita sering melihat orang lain yang terlihat bahagia dan sukses, baik di dunia nyata maupun di media sosial. Ini bisa membuat kita merasa harus terus terlihat bahagia, padahal mereka juga bisa saja sedang menghadapi masalah yang nggak kita tahu.
- Media sosial: Di dunia maya, orang cenderung hanya menampilkan sisi terbaik mereka, tanpa menunjukkan sisi sulit atau perjuangan yang mereka hadapi. Hal ini bisa membuat kita merasa bahwa kita juga harus selalu tampil sempurna, padahal kenyataannya nggak seperti itu.
- Budaya yang menilai negatif perasaan buruk: Di banyak tempat, ada anggapan bahwa merasa sedih atau cemas itu adalah tanda kelemahan. Padahal, setiap orang pasti pernah merasakan hal tersebut. Kita nggak perlu takut atau malu untuk merasakannya.
Cara Menghadapi Toxic Positivity
Lalu, bagaimana cara menghadapi toxic positivity ini? Ada beberapa hal yang bisa kamu lakukan:
- Terima perasaanmu: Hal pertama yang harus kamu lakukan adalah menerima perasaanmu. Kalau kamu merasa sedih, kecewa, atau marah, itu adalah perasaan yang sah dan normal. Jangan takut untuk merasakannya.
- Berbicara dengan orang yang bisa dipercaya: Kadang kita butuh seseorang untuk mendengarkan kita tanpa menghakimi. Teman atau keluarga yang bisa mendengarkan dan mendukungmu akan membuatmu merasa lebih baik.
- Jangan terlalu keras pada diri sendiri: Gak apa-apa kok kalau nggak selalu merasa positif. Memberikan diri kita izin untuk merasakan perasaan negatif adalah hal yang sehat untuk emosional kita.
- Cari keseimbangan: Dalam hidup, kita nggak bisa selalu positif, dan kita juga nggak bisa terus-menerus merasa buruk. Yang terpenting adalah menemukan keseimbangan antara menerima perasaan negatif dan tetap berusaha mencari sisi baik setelahnya.
Kesimpulan
Jadi, meskipun terdengar seperti hal yang baik, toxic positivity sebenarnya bisa berbahaya untuk kesehatan mental kita. Kita nggak perlu memaksa diri untuk selalu berpikir positif atau menekan perasaan negatif. Yang lebih penting adalah memberi ruang untuk semua perasaan, baik itu bahagia maupun sedih. Setelah itu, kita bisa belajar bagaimana bangkit dan move on dengan cara yang lebih sehat.
Jangan takut untuk merasakan dan mengungkapkan perasaanmu. Itu adalah bagian dari proses menjadi pribadi yang lebih kuat dan lebih sehat. Jadi, mulai sekarang, coba deh untuk lebih realistis dengan perasaanmu, dan nggak perlu lagi merasa tertekan untuk selalu terlihat bahagia.